Pengungkapan Ketua DPRA mengenai kejanggalan SK yang menunjuk Alhudri sebagai Plt Sekda membuka tabir dinamika politik di tingkat daerah.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) secara terbuka menyatakan adanya kejanggalan dalam Surat Keputusan (SK) yang menunjuk Alhudri sebagai Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda). Menurut pengakuan tersebut, proses penunjukan ini tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan administrasi dan teknis, melainkan merupakan bagian dari permainan politik yang lebih besar, yang diduga kuat digerakkan oleh pihak Wakil Gubernur (Wagub).
Dibawah ini SEMBILAN NEWS mengupas tuntas berbagai aspek dari peristiwa tersebut, mulai dari latar belakang, kronologi, implikasi politik, hingga langkah-langkah yang diharapkan untuk memperbaiki tata kelola birokrasi di tingkat daerah.
DAFTAR ISI
Latar Belakang Penunjukan Plt Sekda
Dalam sistem pemerintahan daerah, peran Sekretaris Daerah (Sekda) sangat krusial. Sekda merupakan figur kunci yang bertanggung jawab atas koordinasi administrasi, implementasi kebijakan, dan pengelolaan birokrasi di lingkungan pemerintah daerah.
Saat posisi tersebut kosong atau sedang mengalami masa transisi. Penunjukan Plt Sekda melalui SK menjadi solusi sementara agar roda pemerintahan tetap berjalan. Namun, prosedur penunjukan pejabat tinggi seperti ini haruslah dilakukan secara transparan dan berdasarkan meritokrasi agar tidak menimbulkan pertanyaan atau kecurigaan di kalangan publik.
Kejanggalan dalam Proses Pengeluaran SK
Ketua DPRA mengungkapkan bahwa SK yang menunjuk Alhudri sebagai Plt Sekda memiliki sejumlah kejanggalan. Menurutnya, proses pengeluaran SK tersebut tidak melalui mekanisme seleksi yang semestinya dan terkesan mengabaikan asas keterbukaan. Berikut beberapa poin penting yang diungkapkan:
- Proses yang Tidak Transparan: Ketua DPRA menilai bahwa penunjukan Alhudri dilakukan secara tiba-tiba tanpa adanya konsultasi mendalam dengan anggota DPRA maupun pemangku kepentingan lainnya. Proses ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai dasar dan pertimbangan teknis yang digunakan.
- Penyimpangan Prosedur Seleksi: Dalam kondisi normal, pengisian posisi penting seperti Sekda harus melibatkan serangkaian seleksi yang ketat dan objektif. Namun, dalam kasus ini, terdapat indikasi bahwa prosedur standar telah diabaikan. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa keputusan tersebut lebih dipengaruhi oleh pertimbangan politik daripada kemampuan dan rekam jejak calon yang bersangkutan.
- Intervensi Politik dari Wagub: Salah satu tuduhan paling serius yang disampaikan Ketua DPRA adalah bahwa penunjukan ini merupakan bagian dari “permainan Wagub”. Wagub diduga memiliki agenda tersendiri untuk menata ulang struktur birokrasi guna mengamankan posisi dan pengaruhnya di lingkungan pemerintahan.
Baca Juga: Dedi Mulyadi: Susi Pudjiastuti Bakal Jadi Penasihat Pemprov Jabar Tanpa Honor
Kronologi Penunjukan SK Alhudri
Untuk memahami gambaran keseluruhan. Penting untuk menelusuri kronologi peristiwa yang terjadi:
- Kekosongan Posisi Sekda: Posisi Sekda telah mengalami kekosongan sejak beberapa waktu lalu akibat pengunduran diri dan dinamika internal. Kekosongan ini menimbulkan tekanan agar segera dilakukan pengisian demi menjaga kelancaran administrasi pemerintahan.
- Pengajuan Kandidat dan Seleksi Awal: Seharusnya, dalam proses pengisian posisi tersebut. Sejumlah calon diajukan melalui mekanisme seleksi yang transparan dan melibatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk DPRA. Namun, proses ini tampaknya tidak berjalan sesuai prosedur yang diharapkan.
- Pengeluaran SK yang Mendadak: Tanpa melalui proses konsultasi dan evaluasi yang mendalam. SK yang menunjuk Alhudri sebagai Plt Sekda dikeluarkan dalam waktu singkat. Langkah ini langsung menuai reaksi keras dari sejumlah pihak. Terutama dari internal DPRA yang merasa hak mereka untuk mengawasi pengisian posisi strategis telah diabaikan.
- Keterlibatan Wagub dalam Panggung Politik: Ketua DPRA menuding bahwa di balik pengeluaran SK tersebut terdapat peran aktif Wagub, yang diduga ingin memastikan bahwa pejabat yang diangkat memiliki loyalitas dan afiliasi politik yang sejalan dengan agenda partainya. Tuduhan ini semakin memperkeruh suasana politik internal di tingkat daerah.
Implikasi Politik dan Administratif
Pengungkapan kejanggalan dalam penunjukan Plt Sekda tidak hanya berdampak pada struktur birokrasi. Tetapi juga memiliki implikasi politik yang luas. Beberapa dampak penting yang perlu diperhatikan adalah:
-
Erosi Kepercayaan Publik: Proses yang dianggap tidak transparan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat bahwa pejabat tinggi tidak dipilih berdasarkan kompetensi, melainkan karena pertimbangan politik. Erosi kepercayaan ini berpotensi mengganggu legitimasi pemerintahan dan memperlemah posisi pemerintah daerah di mata publik.
-
Polarisasi Internal di Lingkungan Pemerintahan: Keputusan yang kontroversial tersebut telah memicu perpecahan di antara pejabat dan anggota DPRA. Polarisasi internal semacam ini dapat mengganggu sinergi dan koordinasi antar lembaga, yang pada gilirannya akan berdampak negatif pada efektivitas pelayanan publik.
-
Dampak terhadap Kinerja Administrasi: Konflik internal dan persaingan politik yang semakin memanas berpotensi mengalihkan fokus dari tugas utama pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada akhirnya, hal ini dapat menghambat upaya pembangunan dan perbaikan tata kelola pemerintahan daerah.
Reaksi dari Berbagai Pihak
Pengungkapan ini langsung mengundang respons dari berbagai elemen. Baik di dalam maupun di luar pemerintahan:
-
Respon DPRA: Ketua DPRA, melalui pernyataannya, menuntut agar proses penunjukan pejabat tinggi dilakukan secara transparan dan berdasarkan asas keadilan. Ia mengajak seluruh anggota DPRA untuk bersama-sama mengevaluasi dan mengawasi proses seleksi guna memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar demi kepentingan rakyat.
-
Pihak Pemerintah Daerah: Sejumlah pejabat di lingkungan pemerintah daerah menunjukkan kekhawatiran atas intervensi politik yang berlebihan. Mereka menegaskan bahwa setiap keputusan dalam pengisian jabatan struktural harus berlandaskan pada pertimbangan objektif dan profesional. Tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
-
Opini Masyarakat dan Organisasi Sipil: Organisasi masyarakat sipil serta berbagai elemen opini publik turut mengecam proses penunjukan yang dianggap tidak adil. Mereka menyerukan agar mekanisme seleksi pejabat tinggi diperbaiki dan disempurnakan. Sehingga setiap keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
-
Media Massa: Media lokal dan nasional mulai memberitakan isu ini secara intensif. Berbagai pemberitaan mengulas detail kronologi, dugaan intervensi politik, dan implikasi ke depan, sehingga menambah tekanan bagi pihak-pihak terkait untuk memberikan klarifikasi dan solusi yang konkrit.
Kesimpulan
Pengungkapan Ketua DPRA mengenai kejanggalan SK yang menunjuk Alhudri sebagai Plt Sekda membuka tabir dinamika politik dan birokrasi yang kompleks di tingkat daerah. Tuduhan bahwa penunjukan ini merupakan bagian dari “permainan Wagub” menyoroti praktik intervensi politik yang berpotensi merusak tata kelola pemerintahan dan menurunkan kepercayaan masyarakat. Dalam situasi seperti ini, transparansi, akuntabilitas, dan reformasi internal menjadi kunci utama untuk membangun kembali integritas birokrasi.
Ke depannya, kolaborasi antara pemerintah daerah, DPRA, dan masyarakat sipil harus ditingkatkan agar setiap proses pengisian jabatan struktural berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip meritokrasi. Langkah-langkah strategis seperti reformasi prosedur seleksi, penguatan sistem pengawasan, dan dialog terbuka antar pemangku kepentingan diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil benar-benar demi kepentingan rakyat.
Semoga peristiwa ini menjadi titik balik bagi upaya perbaikan tata kelola pemerintahan di daerah. Sehingga praktik-praktik politik yang tidak sehat dapat diminimalisir dan integritas birokrasi dapat dijaga dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, pelayanan publik yang efektif dan transparan akan terwujud. Mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.