Sistem voting pemilihan kolegium kesehatan versi Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Kritik keras dilontarkan terhadap proses voting yang dinilai tidak transparan dan mirip seperti kontes Indonesian Idol. Menunjukkan ketidakpuasan para dokter dan ahli kesehatan terhadap mekanisme pemilihan yang diterapkan.
Dibawah ini SEMBILAN NEWS akan membahas permasalahan lain yang mengiringi adalah besarnya biaya uji kompetensi yang harus ditanggung oleh dokter spesialis, yang semakin menambah polemik di kalangan tenaga medis.
DAFTAR ISI
Proses Voting Kolegium Dikecam
Dalam sidang MK, kritik tajam dilayangkan oleh dokter Zainal Muttaqin yang secara gamblang menyamakan proses voting untuk pemilihan ketua kolegium versi Menkes dengan sebuah acara hiburan populer, Indonesian Idol. Ia menyebut bahwa metode voting tersebut tidak mencerminkan mekanisme yang profesional dan independen.
Melainkan lebih mirip sebuah ajang pencarian bakat yang penuh dengan unsur popularitas. Kritik ini menyoroti keabsahan dan kredibilitas dari proses pemilihan yang seharusnya menjadi wahana pemilihan para ahli medis terbaik, bukan hanya sekadar kompetisi suara terbanyak yang seringkali melupakan aspek kualitas dan integritas .
Dualisme Kolegium & Dampaknya Pada Dokter Spesialis
Dampak dari adanya dualisme kolegium yakni kolegium yang dibentuk oleh Menkes dan kolegium yang sudah lama. Menyebabkan kebingungan dan kesulitan bagi dokter-dokter spesialis dalam memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR). Dokter Piprim Basarah Yanuarso, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menuturkan bahwa setelah dokter spesialis dinyatakan lulus oleh kolegium IDAI.
Mereka menghadapi kendala dalam penerbitan STR karena adanya politik kolegium baru yang dibentuk oleh Menkes. Hal ini memaksa dokter-dokter tersebut mengikuti uji kompetensi ulang yang dikelola oleh kolegium versi Menkes, menambah beban administratif dan finansial bagi para tenaga medis.
Baca Juga:
Biaya Uji Kompetensi yang Membebani Tenaga Medis
Salah satu isu paling mengemuka dalam polemik ini adalah adanya penarikan biaya sebesar Rp12,5 juta untuk mengikuti uji kompetensi yang diselenggarakan oleh kolegium bentukan Kementerian Kesehatan. Dokter Piprim menegaskan bahwa sebelumnya, kolegium dokter spesialis anak yang lama menggratiskan biaya evaluasi nasional.
Sistem voting dengan adanya kolegium versi Menkes, peserta didik harus membayar biaya yang cukup besar. Kondisi ini dianggap tidak adil karena kolegium yang berada di bawah naungan negara seharusnya mendapat pendanaan dari anggaran negara. Sehingga beban biaya tidak perlu dibebankan kepada para dokter yang baru saja menamatkan pendidikan spesialisnya.
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Gugatan yang diajukan oleh Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga, Djohansjah Marzoeki, membawa permasalahan ini ke ranah hukum. Dalam petitumnya, ia menuntut perubahan terhadap Pasal 272 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan agar pembentukan kolegium.
Dilakukan tanpa intervensi pemerintah, khususnya dari Menkes, dan harus bebas dari benturan kepentingan. Marzoeki mengajukan agar kolegium sebagai badan perkumpulan para ahli yang independen dijaga otonominya agar proses pelatihan dan evaluasi. Pengembangan kompetensi dokter tidak tercampur dengan kebijakan politik atau administratif yang merugikan profesi kedokteran.
Kontroversi Integritas & Independensi Kolegium Kesehatan
Kontroversi yang muncul berkaitan erat dengan integritas dan independensi kolegium kesehatan. Harusnya menjadi lembaga yang netral dan profesional dalam mengatur standar profesi dokter spesialis. Dengan adanya proses voting yang dipandang seperti Indonesian Idol dan campur tangan administratif yang menyebabkan dualisme ini, kredibilitas sistem kolegium menjadi dipertanyakan.
Para penggugat dan kalangan medis berharap agar lembaga kolegium dapat berfungsi sesuai fungsinya sebagai penjaga mutu. Standar profesi tanpa harus terjebak dalam mekanisme yang mengandung unsur politisasi maupun komersialisasi.
Kesimpulan
Menghadapi kritik dan tekanan yang terus meningkat, penting bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk segera mengambil langkah konkret. Solusi yang diharapkan adalah pembenahan mekanisme pemilihan kolegium yang transparan dan objektif, menjamin independensi lembaga kolegium dari intervensi politik.
Serta menyelesaikan masalah finansial yang membebani dokter spesialis dalam mengikuti uji kompetensi. Pendanaan yang transparan dari anggaran negara untuk mendukung kegiatan kolegium bisa menjadi alternatif untuk mengurangi biaya langsung yang harus ditanggung tenaga medis.
Semua pihak berharap agar reformasi ini dapat menciptakan iklim profesionalisme yang sehat demi kemajuan kualitas kesehatan nasional. Ikuti terus pembahasan yang kami berikan setiap harinya dengan berita-berita viral hanya di SEMBILAN NEWS.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari mkri.id
- Gambar Kedua dari bbc.com