Site icon SEMBILAN NEWS

IPW Pertanyakan Situasi Gawat Saat Prajurit TNI Amankan Kantor Kejaksaan

IPW Pertanyakan Situasi Gawat Saat Prajurit TNI Amankan Kantor Kejaksaan

Indonesia Police Watch (IPW) pertanyakan dasar pengerahan prajurit TNI untuk mengamankan kantor Kejaksaan, dengan menyoroti belum adanya situasi gawat yang dapat membenarkan langkah tersebut.

Di bawah ini, SEMBILAN NEWS akan membahas peristiwa pengerahan prajurit TNI untuk mengamankan kantor Kejaksaan serta implikasi kontroversial yang menyertainya, di tengah sorotan tajam bertajuk IPW pertanyakan situasi gawat kantor Kejaksaan.

 

Latar Belakang Pengerahan TNI di Kantor Kejaksaan

Surat telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang dikeluarkan pada 6 Mei 2025 memerintahkan pengerahan personel dan peralatan TNI untuk mendukung pengamanan kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh wilayah Indonesia.

Pengerahan ini merupakan tindak lanjut kerja sama antara TNI dan Kejaksaan Agung yang dituangkan dalam nota kesepahaman sejak tahun 2023. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menegaskan bahwa pengamanan ini adalah bentuk dukungan kepada Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya dan bukan terkait substansi penanganan perkara.

Kritik dan Kekhawatiran dari IPW dan Masyarakat Sipil

Meski demikian, langkah tersebut menuai penolakan dan kritik dari berbagai kalangan, terutama dari Indonesia Police Watch (IPW) dan koalisi masyarakat sipil. IPW menyoroti pelanggaran konstitusi dengan pengerahan TNI dalam tugas pengamanan di domain sipil yang secara hukum harus menjadi ranah Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menegaskan bahwa pengamanan keamanan merupakan kewenangan Polri dan penglibatan TNI justru melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan Tap MPR Nomor VII Tahun 2000 mengenai peran TNI dan Polri.

Lebih lanjut, IPW menyoroti bahwa gedung Kejaksaan bukan termasuk objek vital nasional yang bersifat strategis sehingga tidak tepat dijaga oleh TNI sesuai dengan tugas pokok yang diatur dalam UU TNI Nomor 3 Tahun 2025.

Sugeng menyatakan bahwa tugas pokok TNI meliputi operasi militer untuk perang dan operasi selain perang yang berkaitan dengan keamanan wilayah negara dan objek vital nasional, bukan tugas pengamanan kantor administrasi penegakan hukum.

Baca Juga: Jokowi Temui Dosen Pembimbing Kasmudjo di Tengah Isu Ijazah Palsu

Kekhawatiran Terhadap Kemungkinan Intervensi Militer dan Dampaknya

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pengerahan personel TNI ke kantor Kejaksaan berpotensi mengikis independensi penegakan hukum. Mereka mengkhawatirkan bahwa tindakan ini dapat membuka ruang intervensi militer dalam urusan sipil.

Koalisi menyebut pengerahan TNI dapat menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dengan mencampurkan fungsi pertahanan dan penegakan hukum. Aktivis sipil, termasuk Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, menegaskan bahwa TNI harus fokus pada tugas pertahanan negara.

Mereka berpendapat TNI seharusnya tidak terlibat dalam ranah penegakan hukum sipil. Pengamat militer dari berbagai lembaga juga memperingatkan tentang risiko kebangkitan dwifungsi militer. Mereka mengingatkan agar keterlibatan militer dalam urusan sipil, yang pernah terjadi sebelum reformasi 1998, tidak terulang kembali.

Respons dari TNI dan Kejaksaan

Pihak TNI melalui Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Mayor Jenderal Kristomei Sianturi. Menegaskan bahwa pengerahan pasukan dilakukan berdasarkan kerja sama yang sah dan permintaan resmi dari Kejaksaan Agung. Mereka menekankan bahwa dukungan TNI diberikan dengan mempertimbangkan prinsip profesionalitas, netralitas, dan sinergitas antar lembaga.

Kejaksaan Agung menyatakan bahwa tujuan pengamanan ini adalah untuk memastikan tugas penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar dan aman. Pengerahan pasukan bukan disebabkan oleh situasi bahaya yang sedang terjadi. Satuan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) juga terlibat dalam perkara yang menghubungkan antara militer dan sipil.

Kerja sama ini mencakup pengamanan kantor Kejaksaan Agung oleh prajurit TNI. Pihak TNI dan Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menjaga kelancaran proses hukum dalam suasana yang aman.

Analisis dan Implikasi

Pengerahan prajurit TNI untuk mengamankan kantor Kejaksaan menimbulkan dilema besar mengenai batas peran militer dan hukum sipil di Indonesia. Secara hukum konstitusional, keamanan dalam negeri adalah domain Polisi, sedangkan TNI berfungsi sebagai alat pertahanan negara.

Keterlibatan TNI di ranah sipil dapat mengaburkan batas kewenangan dan berpotensi menimbulkan konflik antar lembaga. Hal ini juga dapat memicu risiko pelemahan supremasi sipil atas militer, yang sudah menjadi prinsip dasar dalam sistem negara demokrasi.

Di sisi lain, kantor Kejaksaan sebagai subjek pengamanan yang sensitif memang memerlukan perlindungan maksimal agar tugas penegakan hukum dapat berjalan lancar. Namun, tanpa adanya ancaman militer yang nyata, kehadiran TNI di lingkungan sipil bisa menciptakan persepsi negatif di masyarakat.

Masyarakat mungkin khawatir bahwa keberadaan militer ini bisa mengganggu independensi penegakan hukum. Kekhawatiran ini berpotensi memicu ketidakpercayaan terhadap sistem hukum yang ada. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa peran militer tetap dalam batas kewenangan yang sesuai dengan konstitusi.

Ikuti SEMBILAN NEWS dan dapatkan berita informasi terupdate menarik lainnya setiap harinya.


Sumber Informasi Gambar:

  1. Gambar Pertama dari rmol.id
  2. Gambar Kedua dari www.tvonenews.com
Exit mobile version