Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tengah menjadi sorotan publik setelah dinilai melampaui batas kewenangannya dalam kasus pemecatan anggota DPR nonaktif.

Para ahli hukum menegaskan bahwa MKD hanya berwenang menangani pelanggaran etik, bukan memberhentikan anggota secara administratif. Perselisihan ini memicu perdebatan di kalangan legislator dan mendorong evaluasi sistem pengawasan DPR. Simak beragam informasi menarik seputar SEMBILAN NEWS berikut ini.
DAFTAR ISI
Perselisihan Kewenangan MKD Dalam Pemberhentian
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kembali menjadi sorotan setelah dinilai tidak memiliki wewenang untuk memecat anggota DPR yang berstatus nonaktif. Para pengamat politik menyatakan bahwa kewenangan MKD terbatas pada sanksi etik, bukan pada pemberhentian anggota secara resmi.
Anggota DPR nonaktif sendiri merupakan status yang terjadi karena proses internal atau keputusan lainnya, yang menurut aturan harus diselesaikan oleh lembaga berbeda. Sebagian kalangan menilai MKD harus fokus pada fungsi pengawasan etika tanpa mencampuri urusan administratif keanggotaan. Ketegangan ini menambah dinamika di DPR.
Kasus ini terjadi bertepatan dengan munculnya beberapa nama anggota DPR yang bermasalah dan sedang dalam proses penanganan internal. MKD memberikan rekomendasi tegas konsekuensi etik, namun tidak dapat mengeksekusi pemecatan. Hal ini menjadi bukti bahwa ada batasan yang perlu dihormati oleh lembaga pengawas ini.
Pendapat Hukum Mengenai Batasan Wewenang MKD
Para ahli hukum tata negara mengemukakan bahwa MKD memiliki tugas utama mengurus kode etik dan perilaku anggota DPR. Menjatuhkan hukuman berat seperti pemecatan termasuk wewenang Mahkamah Agung atau Dewan Kehormatan yang lebih tinggi, bukan MKD. Hal ini berdasarkan pada undang-undang dan peraturan internal DPR.
MKD, sebagai organ pengawas etik, tidak memiliki atribut untuk mengubah status keanggotaan legislatif. Jika kondisi anggota DPR melibatkan hukum pidana, proses pemberhentian harus melalui mekanisme yang diatur secara ketat oleh prosedur legislasi. Kewenangan MKD bersifat subjektif pada aspek norma dan perilaku.
Konflik kewenangan ini menjadi pelajaran bagi DPR dan publik tentang pentingnya pemahaman aturan main. Legislator diharapkan dapat memperjelas peran masing-masing lembaga demi menjaga integritas dan kepercayaan. Hingga kini, belum ada kepastian hukum final yang membatasi MKD soal pemecatan.
Baca Juga: Rachmat Pimpin Lagi PDIP NTB, Ganjar Ingatkan PR Politik
Respon Anggota DPR dan MKD Mengenai Kewenangan Ini

Beberapa anggota DPR menyatakan keberatan atas klaim wewenang pemecatan oleh MKD. Mereka menilai fungsi MKD adalah menjaga moral dan kehormatan saja, bukan membuat keputusan administratif yang lebih berat. Pernyataan ini menegaskan adanya penguatan fungsi kontrol internal tanpa intervensi yang berlebihan.
Sementara itu, pimpinan MKD menegaskan bahwa mereka menjalankan tugas sesuai mandat yang diberikan. Mereka mengakui keterbatasan soal pemecatan, namun tetap berkomitmen menindak pelanggaran etik dengan tegas. Pimpinan MKD juga mengimbau lembaga lain untuk mengambil peran dalam keputusan pemberhentian.
Diskusi internal DPR mengenai masalah kewenangan ini sedang berlangsung untuk mencari solusi jangka panjang. Banyak pihak berharap regulasi yang lebih jelas dan tegas mampu menghindari tumpang tindih fungsi. Keseimbangan antara pengawasan dan administratif menjadi fokus utama perbaikan sistem tersebut.
Dampak dan Implikasi Bagi Sistem Legislasi Indonesia
Perselisihan mengenai wewenang MKD ini memberi dampak pada kredibilitas lembaga legislatif. Publik menjadi skeptis terhadap efektivitas pengawasan dan tindakan hukum yang dilakukan oleh DPR. Hal ini juga mendorong kebutuhan reformasi dalam tata kelola kelembagaan DPR.
Perdebatan soal kewenangan ini bisa menjadi momentum bagi DPR untuk menyusun peraturan yang lebih jelas dan berkeadilan. Penegakan etik dan tata kelola anggota harus berjalan selaras agar tidak terjadi kekosongan pengawasan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam membangun kepercayaan publik.
Ke depan, evaluasi dan pembenahan fungsi MKD serta penegasan batas kewenangan menjadi urgensi yang tidak boleh ditunda. Dengan demikian, sistem demokrasi dan perwakilan rakyat dapat berjalan dengan lebih baik dan bersih dari berbagai konflik internal yang merugikan institusi.
Simak dan ikuti terus informasi menarik lainnya tentang berita-berita polik terbaru tentunya terpecaya hanya di SEMBILAN NEWS.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari www.antaranews.com
- Gambar Kedua dari www.antaranews.com
