Partai Gelora mendukung penghapusan parliamentary threshold (PT) atau ambang batas parlemen karena menilai aturan tersebut.
Menyebabkan banyak suara pemilih menjadi sia-sia dan tidak terwakili di parlemen. Kebijakan ini dianggap mendistorsi hak-hak rakyat untuk memilih secara langsung dan menciptakan jarak antara pemilih dengan wakilnya di pemerintahan. Dibawah ini SEMBILAN NEWS akan membahas mendalam mengenai dukungan Partai Gelora terhadap penghapusan parliamentary threshold.
DAFTAR ISI
Latar Belakang Parliamentary Threshold di Indonesia
Parliamentary threshold adalah ambang batas minimal perolehan suara yang harus dicapai oleh partai politik dalam pemilihan umum agar dapat memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di Indonesia, ambang batas ini telah beberapa kali mengalami perubahan.
Pada Pemilu 2009, PT ditetapkan sebesar 2,5%, kemudian naik menjadi 3,5% pada Pemilu 2014, dan menjadi 4% pada Pemilu 2019 serta Pemilu 2024. Tujuan dari penerapan PT adalah untuk menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen, mengurangi fragmentasi politik, dan menciptakan pemerintahan yang lebih stabil.
Namun, di sisi lain, PT juga menimbulkan dampak negatif, yaitu hilangnya suara dari partai-partai yang tidak memenuhi ambang batas.
Alasan Partai Gelora Mendukung Penghapusan Parliamentary Threshold
Partai Gelora, melalui Wakil Ketua Umumnya, Fahri Hamzah, secara terbuka mendukung penghapusan parliamentary threshold. Alasan utama dukungan ini adalah keyakinan bahwa PT menyebabkan banyak suara rakyat menjadi hangus atau tidak terwakili di parlemen. Fahri Hamzah berpendapat bahwa segala bentuk ambang batas mendistorsi hak-hak rakyat.
Untuk memilih pemimpin secara langsung, karena keberadaannya membatasi pilihan dan hak-hak pemilih. Menurutnya, esensi dari demokrasi dan pemilu adalah kedaulatan rakyat, sehingga segala jenis pembatasan yang menyebabkan lahirnya perantara antara kekuasaan dengan rakyat harus dihentikan.
Dampak Suara yang Hangus Akibat Parliamentary Threshold
Penerapan parliamentary threshold telah menyebabkan jutaan suara pemilih tidak terwakili di parlemen. Pada Pemilu 2009, tercatat 19 juta suara terbuang karena partai politik pilihan pemilih tidak lolos ambang batas. Jumlah ini menurun pada Pemilu 2014 menjadi 2,9 juta suara karena lebih banyak partai yang lolos ambang batas.
Namun, pada Pemilu 2019, jumlah suara yang hangus kembali meningkat menjadi 13,5 juta suara. Peningkatan ini terus berlanjut pada Pemilu 2024, di mana 17,3 juta suara tidak terwakili di parlemen karena 10 partai politik gagal memenuhi ambang batas 4%. Kondisi ini menimbulkan persoalan representasi, di mana banyak suara pemilih tidak dapat dikonversi menjadi kursi di parlemen nasional.
Baca Juga:
Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peluang Penghapusan PT
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan angin segar terkait peluang penghapusan parliamentary threshold. MK memerintahkan perubahan ambang batas parlemen 4% kepada pembuat undang-undang. Putusan MK ini membuka jalan bagi revisi Undang-Undang Pemilu yang akan menjadi agenda prioritas bagi DPR.
Dengan adanya putusan MK, peniadaan parliamentary threshold diharapkan dapat menjadi solusi atas banyaknya suara pemilih yang terbuang pada pemilu karena partai politik yang dipilih tidak lolos ambang batas.
Implikasi Penghapusan Parliamentary Threshold terhadap Sistem Kepartaian
Penghapusan parliamentary threshold dapat membawa implikasi signifikan terhadap sistem kepartaian di Indonesia. Tanpa adanya PT, semua partai politik, tanpa memandang ukuran atau popularitasnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Hal ini dapat mendorong munculnya partai-partai baru dan memberikan representasi yang lebih luas bagi berbagai kelompok masyarakat. Namun, di sisi lain, penghapusan PT juga dapat menyebabkan fragmentasi politik yang lebih besar.
Dimana parlemen diisi oleh banyak partai kecil yang sulit untuk mencapai konsensus dan membentuk pemerintahan yang stabil. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mendalam dan pertimbangan matang sebelum memutuskan untuk menghapus parliamentary threshold.
Kesimpulan
Setelah adanya putusan MK, langkah selanjutnya adalah merevisi Undang-Undang Pemilu. Revisi ini harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak terhadap representasi suara pemilih, stabilitas sistem kepartaian, dan efektivitas pemerintahan.
DPR perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk partai politik, akademisi, masyarakat sipil, dan эксперты hukum, dalam proses revisi ini untuk memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak dan memperkuat demokrasi di Indonesia.
Dengan mendukung penghapusan parliamentary threshold, Partai Gelora berharap dapat mewujudkan sistem pemilu yang lebih adil dan representatif. Manfaatkan juga waktu anda untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi informasi terupdate tentang politik lainnya hanya di SEMBILAN NEWS.