Revisi sejarah nasional sedang dibahas Komisi X DPR dengan mengusulkan istilah “pemutakhiran” agar lebih tepat dan jelas.
Istilah ini dianggap lebih tepat secara akademik karena menekankan pembaruan dan penyesuaian berdasarkan temuan baru, tanpa menghilangkan fakta sejarah yang sudah ada. Upaya ini diharapkan mampu menghadirkan narasi sejarah yang lebih inklusif dan akurat.
Di bawah ini SEMBILAN NEWS akan membahas dinamika penggunaan istilah pemutakhiran oleh Komisi X DPR sebagai pengganti penulisan ulang.
Komisi X Dorong Istilah Pemutakhiran, Bukan Penulisan Ulang
Wacana revisi sejarah yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan memunculkan perhatian serius dari Komisi X DPR RI. Dalam forum diskusi bersama para akademisi dan guru besar sejarah di Universitas Hasanuddin, Makassar, Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, menyatakan bahwa istilah penulisan ulang sejarah berpotensi menimbulkan persepsi negatif.
Menurut Lalu, banyak akademisi menyarankan agar diksi tersebut diganti dengan istilah “pemutakhiran”. Sebab, penulisan ulang bisa dimaknai sebagai bentuk penghapusan atau penggantian bagian tertentu dalam sejarah. Hal ini berisiko menimbulkan resistensi dan kontroversi di masyarakat, terutama bila dianggap sebagai upaya manipulasi atau rekayasa sejarah.
“Masukan-masukan yang kami terima dari akademisi, diksi yang paling pas itu adalah pemutakhiran,” ujar Lalu dalam keterangan tertulis di laman resmi DPR, Jumat, 4 Juli 2025.
Pemutakhiran, menurut Lalu, lebih tepat karena mengindikasikan penyesuaian terhadap temuan baru tanpa menghilangkan jejak sejarah yang sudah tercatat. Dengan demikian, proses ini tetap berpegang pada prinsip ilmiah dan keterbukaan terhadap data dan bukti baru yang valid.
Perspektif Kementerian Kebudayaan
Sementara itu, dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR yang digelar pada Rabu, 2 Juni 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjelaskan bahwa proyek penulisan ulang sejarah dilakukan untuk memperbaiki narasi sejarah yang belum lengkap dan menyuguhkan sudut pandang yang lebih positif serta inklusif.
Fadli menekankan bahwa sejarah nasional perlu dikaji ulang, bukan untuk menghapus, melainkan untuk mengisi kekosongan dan memperkaya pemahaman tentang identitas bangsa. Menurutnya, ada banyak pencapaian Indonesia yang belum cukup tergambarkan dalam sejarah yang diajarkan selama ini, terutama pencapaian di dunia internasional seperti Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok.
“Tone-nya kita positif juga. Kita berharap sejarah ini bisa menjadi alat pemersatu bangsa di tengah perbedaan,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
Fadli juga mengakui bahwa sejarah Indonesia selama 26 tahun terakhir, sejak masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, belum sepenuhnya terdokumentasi dengan baik dalam buku-buku sejarah nasional. Maka dari itu, proyek ini dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan, bukan sekadar penulisan ulang.
Baca Juga:
Proses Akademik dan Uji Publik
Penulisan sejarah, menurut Kementerian Kebudayaan, bukan sekadar menyalin ulang peristiwa masa lalu. Prosesnya melibatkan penelitian mendalam, penemuan data hukum baru, hingga temuan arkeologis yang dapat memperkaya narasi sejarah nasional.
Saat ini, proyek revisi sejarah sudah memasuki tahap uji publik. Fadli menyebutkan bahwa berbagai kalangan dilibatkan, mulai dari sejarawan, akademisi, arkeolog, hingga pemangku kepentingan sejarah lainnya. Pendekatan inklusif ini diharapkan dapat menghasilkan naskah sejarah yang lebih representatif dan komprehensif.
“Kita update ini termasuk temuan-temuan arkeologis dan perspektif Indonesia. Jadi, tidak hanya menyuguhkan fakta, tapi juga membangun semangat positif dan kebangsaan,” tutur Fadli.
Pemerintah juga menekankan bahwa hasil revisi ini nantinya akan dibuka untuk masukan lebih lanjut sebelum ditetapkan menjadi rujukan resmi dalam dunia pendidikan maupun referensi umum sejarah nasional.
Keseimbangan Antara Fakta dan Narasi
Perdebatan soal diksi sebenarnya mencerminkan isu yang lebih mendalam: bagaimana bangsa ini memandang sejarahnya sendiri. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menyampaikan sejarah dari sudut pandang Indonesia, memperkenalkan pahlawan lokal, dan memberi ruang bagi narasi daerah yang selama ini terpinggirkan. Di sisi lain, integritas akademik dalam penyusunan sejarah juga harus dijaga.
Istilah “pemutakhiran” memberi kesan penyesuaian dan pembaruan tanpa menghilangkan substansi. Ia bersifat adil terhadap masa lalu, dan terbuka terhadap temuan baru. Hal ini penting agar sejarah tidak hanya menjadi kumpulan cerita lama, tetapi juga cerminan perjalanan intelektual dan sosial bangsa yang terus berkembang.
Sejarawan pun banyak yang setuju bahwa sejarah tidak boleh dibekukan dalam satu versi. Setiap generasi punya hak untuk menggali, mempertanyakan, dan memahami masa lalu berdasarkan data dan perspektif baru yang terus bermunculan.
Kesimpulan
Proyek revisi sejarah nasional Indonesia adalah langkah besar yang perlu ditempuh dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh. Usulan Komisi X DPR untuk mengganti istilah penulisan ulang menjadi pemutakhiran mencerminkan upaya menjaga keseimbangan antara sensitivitas publik dan kepatuhan terhadap pendekatan akademik.
Di tengah tantangan globalisasi dan pergeseran identitas nasional, sejarah harus hadir bukan hanya sebagai kumpulan peristiwa, tapi juga sebagai jembatan pemersatu yang mencerminkan kompleksitas dan kekayaan perjalanan bangsa Indonesia. Simak dan ikuti terus SEMBILAN NEWS agar Anda tidak ketinggalan informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari www.tempo.co
- Gambar Kedua dari www.tempo.co